Jalur Rempah Aceh Menuju Episentrum Dunia

0
281
Ilustrasi jalur rempah. | Foto : Kemendikbud

Oleh : Bulman Satar

BANDA ACEH – Kepulauan nusantara pernah memiliki sejarah besar sebagai penghasil utama rempah dunia, mulai dari awal Masehi abad 15, ketika mulai masuknya bangsa-bangsa Eropa hingga mencapai puncaknya pada abad 17 dan 18.

Banyak jejak dan artefak sejarah, baik dalam bentuk tembikar, foto, peta kuno, manuskrip, dan sumber-sumber tertulis lainnya yang mengindikasikan aktivitas perdagangan jalur rempah nusantara di zaman dahulu.

Juga ada banyak aspek melatari fakta sejarah panjang ini, baik itu diplomasi politik, budaya, ekonomi, hingga perkembangan teknologi transportasi yang kesemuanya mengonstruksi sejarah jalur perdagangan rempah nusantara seperti kita pahami sekarang.

Jalur perdagangan rempah nusantara mencakup hampir seluruh wilayah pesisir kepulauan nusantara, mulai dari Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, hingga Maluku dan Banda.

Dari pulau-pulau Indonesia inilah ragam komoditas rempah, seperti pala, cengkeh, lada, dan kayu manis dengan nilai ekonomi tinggi, bahkan melebihi harga emas pada waktu itu. Kemudian diperdagangkan melintasi samudra dan benua ke Asia Selatan, Timur Tengah, Mediterania, Afrika, hingga Eropa.

Dari latar sejarah ini, Kementerian Pendidikan Kebudayaan, Riset dan Teknologi bersama  Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif mengusung program strategis nasional bertajuk rekonstruksi dan revitalisasi jalur rempah nusantara, dalam rangka memperkuat posisi diplomasi geopolitik dan geoekonomi Indonesia di kancah global.

Untuk program rekonstruksi, jalur rempah nusantara ditargetkan pada tahun 2024 mendatang diakui dan ditetapkan sebagai World Heritage Memory oleh UNESCO.

Sementara program revitalisasi lebih diarahkan untuk membangkitkan kembali kejayaan perdagangan rempah tempo dulu, melalui konsep pengembangan destinasi wisata jalur rempah.

Dalam kedua skema program strategis nasional ini, tidak ada daerah yang memiliki peluang paling besar selain Aceh. Letak geografis Aceh sebagai pintu gerbang masuk ke kepulauan nusantara dan bersebelahan langsung dengan Selat Malaka.

Sejak lama Selat Malaka telah menjadi jalur perdagangan tersibuk dunia, diperkuat dengan kedaulatan politiknya sebagai kerajaan Islam yang cukup disegani, bahkan masuk dalam lima kerajaan Islam terbesar di dunia pada abad pertengahan.

Kala itu Aceh diberi posisi istimewa, baik dalam konteks kesejarahan sebagai salah satu penghasil utama rempah dunia, maupun dalam konteks kekinian dengan segala peluang diplomasi ekonomi, politik, dan budayanya.

Aceh Titik Utama Diskursus Jalur Rempah Nusantara dan Dunia

Beberapa kronik seperti diplomasi “lada sicupak” antara kerajaan Aceh dengan kesultanan Ottoman Turki, peristiwa perang Potomac antara Amerika Serikat dengan kerajaan Kuala Batu, penyerangan dan penyanderaan kapal Hoc Canton oleh Raja Teunom, keduanya di pesisir Barat-Selatan Aceh terkait dengan konflik tata niaga rempah.

Kemudian, peta abad 18 karya pelaut Australia-Irlandia. Samuel Ashmore yang menggambarkan pelabuhan-pelabuhan lada di sepanjang pesisir Barat-Selatan Aceh dan menjadi bukti kejayaan Aceh sebagai produsen lada terbesar di dunia pada abad 17-18.

Pada masa itu, minyak atsiri dengan kualitas terbaik dari tiga komoditas rempah seperti pala, cengkeh, dan serai wangi, ditambah nilam, yang saat ini dihasilkan kawasan Barat-Selatan Aceh, menjadi penyuplai terpenting bahan baku industri parfum dunia, adalah kesinambungan sejarah yang menempatkan Aceh sebagai titik utama dalam diskursus jalur rempah nusantara dan dunia.

Dengan fakta-fakta ini, maka tentu sangat berasalan jika kedua kementerian terkait memasukkan Aceh sebagai salah satu titik atau daerah pengembangan utama dalam 20 titik rekonstruksi dan delapan sebagai pengembangan destinasi jalur rempah nusantara.

Ini menjadi peluang besar bagi Aceh untuk berinovasi mengembangkan program strategis jalur rempah di tingkat daerah. Momentum ini harus dimanfaatkan bukan hanya karena latar dan justifikasi sejarah sebagai daerah penghasil rempah.

Tapi dalam konteks kekinian, juga karena Aceh masih membudidayakan beberapa komoditas rempah baik dalam bentuk mentah dan bahan baku turunannya mengisi kebutuhan pasar dunia, hingga dapat diproyeksikan sebagai stimulan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi Aceh secara berkelanjutan. Artinya kejayaan sejarah masa lalu sinambung dengan proyeksi ragam manfaat ekonomi dan budaya saat ini.

Jadi sebagai modal, Aceh sudah memiliki embrio pengembangan program dengan konsep yang dapat mencakup perspektif masa lalu-kesejarahan, masa sekarang-kekinian, dan masa depan-keberlanjutan, untuk kemudian dikapitalisasi untuk tujuan-tujuan dan manfaat ekonomi dan budaya.

Selain itu, dengan mempertimbangkan peta, trend, dan peluang kepariwisataan Indonesia di tingkat global, serta sumber daya dan peluang sektoral di tingkat lokal Aceh, maka tidak ada “titik singgung” yang paling berpeluang dikonversi menjadi program strategis jalur rempah, selain dengan meramu kombinasi sektor agro dan pariwisata menjadi sebuah program strategis yang terintegrasi dan berkelanjutan, yakni program “Pengembangan Destinasi Agrowisata Kebun Raya Rempah Aceh”. 

Prospek Destinasi Agrowisata Kebun Raya Rempah

Program pengembangan destinasi agrowisata kebun raya rempah memiliki arti penting untuk Aceh. Pertama, untuk mendukung dan menyukseskan program strategis nasional rekonstruksi dan revitalisasi jalur rempah nusantara dalam rangka diplomasi budaya ekonomi dunia di kancah intrnasional.

kedua, mengembalikan kejayaan sejarah rempah sekaligus memperkuat posisi Aceh sebagai sentra budidaya dan produsen rempah dunia dengan segala produk turunannya. Ketiga, menumbuhkan dan memperkuat sektor produktif dengan skenario nilai tambah bersumber dari produk agro dan jasa pariwisata dalam rangka memacu pertumbuhan ekonomi yang bermuara pada peningkatan kesejahteraan rakyat Aceh.

Bahkan pada level industri, dengan kehadiran keburn raya rempah ini kita memiliki peluang besar merebut segmen pasar industri halal dunia untuk cluster obat dan kosmetik halal, karena produk turunan tanaman rempah dapat diolah menjadi obat dan kosmetik.

Untuk cluster ini nilai ekonomi cukup besar tercatat mencapai 78 dolar Amerika Serikat pada tahun 2015 dan diperkirakan naik mencapai 132 juta dolar Amerika Serikat pada tahun 2021

Sementara itu, isu-isu relevan dan krusial yang menjadi point penting program pegembangan destinasi agrowisata kebun raya rempah Aceh, utamanya adalah ekonomi hijau dan pembangunan berkelanjutan, menderivasikan upaya konservasi daya dukung alam selaras dengan manfaat ekonomi dengan menitik-beratkan pada peningkatan pendapatan (income generating) warga masyarakat ekonomi lemah.

Dengan demikian pemberdayaan masyarakat (comunity empowerment) menjadi aspek  relevan dan pondasi program yang digerakkan melalui skema penguatan kapasitas kelembagaan di tingkat gampong, dalam rangka memastikan kemandirian dan keberlanjutan program.

Program ini juga diproyeksikan dapat meningkatkan pendapatan petani sekaligus menciptakan multiplyer effects, menjadi daya ungkit bagi ragam sektor produktif di sekitar kawasan kebun raeya, sehingga berdampak luas terhadap pertumbuhan ekonomi daerah sekaligus menjadi ikon kebesaran sejarah rempah Aceh dan nusantara.

Dari sisi pariwisata, bentang alam dengan pemandangan yang indah dan mengundang, topografi lahan yang cocok, dan kemudahan akses, adalah tiga aspek yang menjadi pertimbangan utama. Untuk pemandangan mencakup panorama agro, perkebumanan rempah, persawahan, perbukitan dan gunung, pemukiman penduduk, lautan, aliran sungai. Prinsipnya semakin lengkap semakin bagus.

Kemudian untuk topografi dibutuhkan kombinasi lahan flat (datar) dan kemiringan landai adalah sangat ideal. Sementara aksesibilitas tentu menjadi faktor yang sangat menentukan dalam pengembangan destinasi wisata. Idealnya dekat dengan jalan nasional sehingga mudah diakses oleh pengunjung atau wisatawan.

Keberadaan daerah aliran sungai adalah nilai plus yang semakin memperkuat konsep program karena sangat memungkinkan untuk pengembangan objek wisata tematik lainnya. Untuk respons dan kesiapan masyarakat, pertimbangan menyangkut sikap positif masyarakat terhadap rencana program, kondisi kelembagaan di tingkat komunitas, serta keberadaan sosok-sosok pengorganisasi masyarakat dengan program-program yang relevan adalah menjadi modal sosial pada tingkat sosialisasi dan konsolidasi dukungan program di tingkat masyarakat dan komunitas.

Sementara dalam rangka mendukung program pengentasan kemiskinan, program ini perlu menyentuh masyarakat atau petani yang berpenghasilan rendah, sehingga dengan kehadirannya program ini dapat menjadi bagian dari income generating mereka sekaligus dengan multiplyer effects-nya bisa menjadi stimulan bagi tumbuhnya ragam sektor produktif lainnya, lalu berdampak luas bagi masyarakat di sekitar kawasan kebun raya rempah.

Pada dasarnya, program konsep “kebun raya rempah” digagas dengan mencakup budidaya semua tanaman rempah nusantara, dengan skenario nilai tambahnya adalah dari jasa pariwisata, produk agro turunan rempah baik baku maupun jadi, dan jasa lingkungan dengan fungsi sebagai destinasi agrowisata, agroforestry, ekowisata, agrobisnis, dan eduwisata: semuanya tercakup dalam satu paket program Kebun Raya Rempah Aceh.[]

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini