BANDA ACEH – Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) ke-8 akan berlangsung pada 19-27 Agustus 2023, dan digelar di lokasi yang berbeda yakni Taman Ratu Saatuddin, Lapangan Tugu Darussalam, Lapangan Blang Padang, dan Stadion Lhong Raya, Banda Aceh.
Masing-masing lokasi acara ini diberi nama tiga tokoh penting dalam ruang lingkup jalur rempah Aceh. Ketiganya merupakan penulis manuskrip kuno tentang rempah-rempah Aceh sebagai ramuan tradisional berkhasiat layaknya obat-obatan tradisonal.
Manuskrip ini tentu berperan besar terhadap eksistensi Aceh sebagai bagian dari jalur rempah nusantara dan dunia.
Adapun nama-nama tokoh sebagai lokasi PKA-8 ialah Seuramoe Syaik Abdussalam, untuk area Taman Ratu Saatuddin dan Lapangan Tugu Darussalam. Kemudian, Seuramo Syaikh Ismail area Lapangan Blang Padang, dan Seuramoe Syaikh Kutakarang area stadion Lhong Raya.
Berikut profil tiga tokoh penting dalam ruang lingkup jalur rempah Aceh:
1. Syaikh Abdussalam
Syaikh Abdussalam merupakan salah satu ulama Aceh yang dikenal sebagai ulama, pengusaha, penulis kitab dan seorang kristolog handal pada Teungku Abdussalam Meuraxa dikenal sebagai seorang ulama penulis, seperti gurunya Tuwanku Raja Keumala.
Karya tulis dalam bentuk buku yang dikarang Teungku Haji Abdussalam Meuraxa adalah Kitab Terjemahan, dalam dari Alyah Imam Ibnu Malik dengan judul “Tashilussalik ila Alyah Ibnu Malik” yang dicetak ditahun 1926 di Mesir, dimana Teungku Abdurrahman Meuraxa dalam usianya 27 tahun telah berhasil menulis sebuah karya besar dan dicetak di Kairo Mesir.
Selain menerjemah Kitab Alyah, ia juga pernah menerjemah kitab penting dalam Mazhab Sya’i yaitu Kitab Minhaj Thalibin karya Imam Nawawi, mujtahid yang dikenal sebagai ulama besar dan mujtahid tarjih dalam Mazhab Sya’i.
Teungku Abdusssalam Meuraxa menyelesaikan terjemahan Kitab Minhajut Thalibin menjelang akhir usianya di tahun 1953, karena di tahun 1955 ia wafat. Kitab Minhaj diterjemahkan dalam beberapa jilid.
Selain kitab Arab, ia juga menulis beberapa buku untuk menolak pemahaman keliru dari kaum misionaris. Bahkan disebutkan dia pernah berdebat secara ilmiah dengan seorang misionaris yang datang secara khusus untuk berdebat dengannya di tahun 1930.
Perdebatan tersebut ia bukukan sehingga bisa dibaca dan menjadi bahan kajian untuk generasi selanjutnya. Semua buku yang dikarang oleh Teungku Abdussalam Meuraxa masih tersimpan dengan baik di rumah anaknya yang umumnya mereka tinggal di Jakarta, karena anaknya menjadi dokter ahli yang bergerak dalam bidang kesehatan.
2. Syaikh Ismail
Syaikh ismail sering dikenal yaitu Syaikh Ismail Bin Abdul Muthallib Al-Asyi. Ulama yang berasal dari Aceh ini dimulai dengan kitabnya berupa artikel-artikel karya beberapa orang ulama yang dikumpulkan dalam satu kitab yang cukup terkenal di nusantara berjudul “jam’u Jawmi’il Mushannafat”, “Tajul Muluk”. Syaikh ismail memiliki banyak kitab dan karya beliau yang lain.
Pengobatan dengan rempah bahkan telah tertulis dalam kitab-kitab masa lampau. Salah satu contohnya kitab Tajul Muluk (Mahkota Raja) yang ditulis oleh Syekh Ismail Aceh pada zaman Sultan Ibrahim Mansur Syah (1837-1870 M).
Kitab ini masih digunakan di seluruh lembaga pendidikan tradisional di Aceh dan beberapa lembaga agama di nusantara. Kitab Lapan merupakan kumpulan delapan karangan karya ulama Aceh yang membahas tauhid, tasawuf dan etika
“Obat yang pernah saya praktikkan dari isi kitab Tajul Muluk ini adalah obat pelupa, yakni dengan meminum air jahe (halia) atau bubuk jahe yang telah ditumbuk.”
Pada kitab Tajul Muluk (Mahkota Raja) dalamnya dijelaskan beberapa jenis rempah dari lada, cengkeh, dan fuli (lapisan biji pala berwarna merah) yang digunakan sebagai bahan utama dalam kuliner dan pengobatan alternatif.
3. Syaikh Kuta Karang
Syeikh Abbas bin Muhammad al-Asyi atau yang lebih dikenal dengan nama Teungku Chik Kuta Karang atau dengan nama beliau yang lebih familiar di telinga orang Malaysia yakni Syeikh Abbas Kuta Karang.
Tokoh ini dilahirkan di Kuta Kesimpulan ini didasarkan pada kitab-kitab beliau yang selesai ditulis pada sekitar abad itu. Kitab Qunu’ yang selesai ditulis pada tahun 1259 H atau bertepatan pada tahun 1843 M. Ia banyak menghabiskan masa mudanya dengan menuntut ilmu kepada para Ulama-Ulama besar.
Saat itu Syeikh Abbas tidak hanya sebatas menuntut ilmu Agama Islam saja, akan tetapi beliau juga belajar tentang ilmu falak (perbintangan/astronomi, hisab (hitungan-hitungan), ilmu kedokteran, sastra, dan juga politik yang pada masa itu Islam dan negeri-negeri Islam adalah merupakan kiblat/sumber dari berbagai macam disiplin keilmuan tersebut.
Seperti Kitabur Rahmah yang membahas tentang obat-obatan dan tata cara pengobatan. Kitabur Rahmah Kitab ini membahas mengenai obat-obatan dan tata cara pengobatan yang dialihbahasakan dari bahasa Arab ke bahasa Melayu. Hingga kini, beberapa tabib di Aceh masih menggunakan kitab ini sebagai rujukan mereka.
Itu dia profil tiga tokoh penting dalam ruang lingkup jalur rempah Aceh.