BANDA ACEH – Aceh salah satu daerah penghasil rempah terbaik di Nusantara. Bahkan, provinsi paling barat Indonesia itu pernah berjaya pada abad ke 16-18 masehi sebagai penghasil rempah terbaik di dunia.
Ragam jenis rempah dari 23 Kabupaten/Kota di Aceh, kini disuguhkan dalam Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) ke-8. Event empat tahun itu pun disemat tema Jalur Rempah.
Hasil rempah dari masing-masing daerah itu bisa dinikmati pengunjung di lokasi pameran rempah. Pameran ini menjadi ruang edukasi bagi masyarakat Aceh.
Seperti halnya disuguhkan Pemerintah Sabang, mereka menampilkan berbagai jenis rempah mulai dari cengkeh, lada, pala, kunyit, belimbing wuluh dan daun kelor.
Penjaga stand Sabang, Popy Mersilu, menjelaskan Sabang merupakan daerah di Aceh yang dikenal dengan cengkehnya. Saat ditetapkan sebagai pelabuhan bebas, semua warga di sana berlomba-lomba untuk menanam komoditi tersebut.
“Bahkan pohon lain ditebang yang ditanam cuma cengkeh aja. Karena waktu itu harga cengkeh juga mahal, bisa setara dengan harga satu mayam emas,” katanya.

Popy menyebut hasil tanaman warga itu kemudian diekspor ke berbagai negara melalui kapal-kapal yang berlabuh di Sabang.
“Cengkeh itu ya diekspor, karena dulu Sabang kan pelabuhan bebas. Jadi, banyak kapal dari berbagai negara masuk,” jelasnya.
Menurut Popy semenjak pameran rempah dibuka di arena utama PKA-8 Taman Sulthanah Safiatuddin, banyak pengunjung mulai dari anak-anak, orang tua, dan masyarakat umum antusias melihat berbagai jenis rempah yang berasal dari masing-masing daerah di Aceh.
“Bahkan mereka menanyakan rempah apa sih yang sebenarnya terkenal di Sabang. Jadi ada wawasan baru didapatkan, bahwa Sabang tidak hanya laut, keindahan, tetapi juga memiliki sejarah rempahnya,” ungkap Popy Mersilu.
Tembakau Gayo
Hal menarik lainnya juga dapat ditemukan pengunjung pada stand Aceh Tengah. Selain dikenal dengan kopi terbaik di dunia, pada PKA-8 kali ini mereka juga menampilkan tembakau hijau gayo.
Pegawai Dinas Perkebunan Aceh Tengah, Ruslan, mengatakan tembakau hijau merupakan rempah asli khas dari dataran tinggi Gayo. Dia mengatakan tembakau dan kopi bisa tumbuh secara berdampingan di sana.

“Tembakau ini endemiknya Takengon, bukan dibawa dari luar, tetapi dari dulu memang sudah ada,” katanya.
Ruslan menceritakan tembakau gayo itu dulunya ditanam di sela-sela aktifitas masyarakat kala menanam kopi. Sembari menunggu masa panen kopi, maka warga lebih dulu menikmati hasil tembakau.
“Jadi kita nikmati dulu tembakau ini, setelah besar kopi, baru kopi pula,” ucapnya. MC/BBR/Alfath