
Oleh: Risman Rachman
Ketika menyebut jalur rempah, ingatan pengetahuan sejarah kita, terlempar pada abad nan jauh sekali.
Kala itu, bangsa-bangsa nun jauh harus mengarungi samudera yang ganas, menuju negeri-negeri.
Negeri yang dari buminya mengeluarkan apa yang dalam bahasa Latin disebut spices, yang berarti suatu barang yang bernilai khusus.
Barang itulah yang kita sebut dengan rempah-rempah. Kala itu, rempah bagi mereka bernilai ritual, juga medis.
Sejak zaman kuno, rempah-rempah dibakar sebagai dupa dalam upacara keagamaan, lewat udara yang menimbulkan wangi magis, doa yang dipanjatkan “terbang” menuju para dewa sesembahan.
Dari rempah barus juga jadi balsem untuk menjadi bagian dari bahan pengawet bagi sosok-sosok agung yang mereka hormati.
Wangi rempah yang eksotik, yang menyembur dari makanan, tak hanya membuat masakan menjadi enak, tapi juga dapat membuat keluarga-keluarga menemukan kehidupan yang lebih indah.
Dan, untuk semua itulah, jalur rempah secara maritim terbentuk, dari jarak yang pendek menjadi jarak yang jauh, dan teramat jauh.
Dari situ pula terjalin kerjasama dagang, juga saling berinteraksi kebudayaan. Dari waktu ke waktu musik, tarian, dan kuliner menjadi sarana komunikasi universal.
Dari rempah-rempah itu pula, pertemuan spiritual berlangsung. Daerah yang didatangi dari Timur Tengah tumbuh Islam, dan negeri yang disinggahi Barat-Eropa tumbuh spiritual yang lain pula.
Dalam beberapa hari ini, melalui Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) ke-8 ingatan itu diangkat kembali. Secara kebudayaan ingin diingatkan bahwa identitas Aceh itu adalah negeri yang kaya akan sumber daya alam yang harus dijaga dan dikelola dengan baik.
Jika dijaga dan dikelola dengan baik, maka Aceh akan terhindar dari krisis pangan. Jangan sampai pada suatu ketika nanti Aceh harus coba-coba seperti food estate, yang masih terus gagal lagi.
Secara kebudayaan, kesadaran kebudayaan Aceh juga tumbuh kembang di atas pertemuan budaya-budaya dari berbagai bangsa-bangsa.
Jadi, sangat tidak elok jika Aceh dipaksa tumbuh di atas cara pandang eksklusif, apalagi tertutup. Aceh lewat dialog kebudayaan yang terjadi seiring dengan hubungan dagang adalah negeri yang kosmopolit, negeri yang men-donya.
Jadi, karakter mau menang sendiri, hanya ‘droe nyang beutoi, laen koen mandum’ adalah jati diri bangsa yang dilanda ketakutan, sehingga harus “lari” atau “bersembunyi” dibalik tirai ideologi sempit.
Aceh sebagai bangsa yang pernah berdiri sejajar di jalur rempah dengan bangsa-bangsa lain, wajib kembali menjadi bangsa yang gagah, sehingga bumi aulia ini kembali menebar wewangian “rempah” kesadaran kosmopolit, sehingga dunia yang sedang tidak baik-baik saja dapat dipulihkan dengan Acehisme.
*penulis) adalah peminat kebudayaan.