Jejak Rempah di Teluk Seumawe

0
73
Berbagai rempah dipamerkan di Anjungan Lhokseumawe, pada PKA-8 di Taman Sulthanah Safiatuddin, Banda Aceh, Selasa 7 November 2023. (Foto : MC/RF)

BANDA ACEH – Tertata rapi di bagian tengah dan kiri pintu anjungan, rempah-rempah Aceh dari Kota Lhokseumawe satu per satu dilirik pengunjung yang datang.

Rempah-rempah yang ada di dalam Anjungan Lhokseumawe seperti lada, cengkeh, kemiri, kunyit dan masih banyak lagi. Konon katanya, rempah-rempah ini hadir pada abad ke-16, ketika rempah Aceh mengalami kejayaan hingga tercatat dalam peta perdagangan global.

Lhokseumawe dan rempah memiliki history yang tak terpisahkan. Dahulu, Aceh sebagai pengumpul rempah untuk diperdagangkan ke nusantara maupun luar negeri melalui pelabuhan Lhokseumawe.

Sejarah itu dikuatkan dengan adanya kerajaan Islam pertama di nusantara yakni Samudera Pasai, sera aktivitas dagang yang sudah kental sejak zaman dulu. Lalu pelabuhan di sana juga sudah sangat ramai dengan pedagang, baik lokal maupun dunia.

Dalam catatan sejarah, jalur rempah dari Lhokseumawe dirintis sejak abad ke-7, saat itu masyarakat sudah mulai memanen hasil pertaniannya untuk diperdagangkan.

“Sejak abad itu sudah ramai pedagang baik itu dari Eropa, India, Arab hingga China,” kata Kepala Bagian (Kabag) Protokol dan Komunikasi Pimpinan Setdako Lhokseumawe, Darius, di Anjungan Lhokseumawe, Selasa 11 November 2023.

Awalnya, kata, Darius, di kawan Lhokseumawe terdapat pelabuhan atau disebut teluk. Pada zaman Belanda, teluk itu dinamai Teluk Seumawe, Dari sanalah rempah Aceh dikim hingga Eropa.

Sayangnya, aktivitas perdagangan di Lhokseumawe terjadi kemunduran, akibat konflik kerajaan Samudera Pasai dengan Portugis dan kerajaan Aceh. Saat itu mendapatkan serangan dari berbagai wilayah.

Menurut cerita, kala itu Portugis ingin berkuasa untuk perdagangan jalur rempah hingga akhirnya Kerajaan Samudera Pasai diserang. “Portugis mau monopoli perdagangan saat itu, mereka ingin mengatur semua aktivitas perdagangan di Aceh,” katanya.

Hingga kini Teluk Seumawe masih meninggalkan bekas, kata dia, sekali-kali saat air laut surut tampak jelas tiang-tiang pelabuhan. Darius mengakui sejak 1955 memang sudah ada pelabuhan di kawasan tersebut.

Imbas dari adanya perdagangan rempah internasional zaman dulu di wilayah Lhokseumawe, membuat kehidupan masyarakat di sana sangat multikultural. Apalagi dengan munculnya kampung Cina, Bugis, India. “Semua itu karena sejak dulu wilayah tersebut adalah kawasan terbuka untuk urusan niaga,” ucap Darius.

Namun kemudian, saat ini muncul pelabuhan baru seperti di Krueng Geukueh dan teluk Seumawe tinggal tiang-tiang saja. MC/RF/Ulfah

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini